Sabtu, 21 Januari 2012

SYAHIDNYA CALON MEMPELAI**

Jum'at itu dia bangun jauh lebih awal dari biasanya. Padahal, menurut ibunya, semalaman ia nyaris tidak tertidur. Sampai tengah malam dia masih membaca Al Qur'an. "Tatkala saya terjaga, dia sedang asyik shalat malam. Dia baca ayat-ayat An-Nabaa sambil menangis!"


Usai Shubuh, Ayat Al-Akhras --remaja shalihah itu-- kembali membaca Al Quran. Ayat-ayat jihad dibacanya berulang-ulang dengan nada bergetar. Sesekali ia terhenti, menahan isak tangis. Menjelang pukul 06.00 waktu Palestina, dia menulis sesuatu di meja belajar. Sejurus kemudian Ayat sudah berseragam dan bergegas menuju dapur untuk menemui ibundanya.


Kepada Ny Al-Akhras, dia pamit hendak pergi ke sekolah. "Ada pelajaran dan tugas tambahan. Hari ini boleh jadi merupakan saat terpenting dalam hidup ini. Saya mohon doa restu Ibu," ucapnya dengan mata berbinar.
Ny Al-Akhras tercekat. Dia sedikit bingung, heran, dan kaget melihat tingkah putrinya. "Semoga Allah selalu melindungi dan merahmatimu, Anakku. Tapi, bukankah Jum'at adalah hari libur?"


"Doa itulah yang nanda harap, Bu," jawabnya. Ayat tak lagi berkata-kata. Dia hanya tersenyum dikulum, cium tangan, kemudian memeluk erat sang ibu yang masih kebingungan. Dan, dengan tetap tersenyum, dia menarik tangan adiknya, Samaah. Mereka, tulis Muslimedia, pun sama-sama bergegas ke sekolah.


Beberapa jam kemudian, Jumat 22 Maret 2002 sekitar pukul 10 waktu setempat, Radio Israel memberitakan ledakan bom di supermarket Nataynya, dekat Yerusalem. Peristiwa ini menyebabkan tiga orang tewas dan lebih dari 40 orang luka-luka. Pelakunya diduga kuat seorang putri Palestina.


Jantung Ny Al-Akhras berdegup kencang menyimak kabar itu. "Jangan-jangan dia ..." bisiknya saat itu. firasatnya menguat manakala dia mendapatkan Samaah pulang sendirian sambil terisak-isak. Dia mengaku tak tahu persis ke mana sang kakak bergi. Ayat, kata dia, hanya berpesan, "Jangan cemas dan takut. Allah selalu bersama orang-orang beriman. Sampaikan salam buat semua, dan berdoalah. Mudah-mudahan Allah memberi pengampunan dan kemenangan!"


Tinggal di kamp pengungsian, Ny Al-Akhras mengaku sempat cemas dengan nasib anaknya. Batinnya bertanya-tanya, "Ke mana dia pergi? Apakah dia sudah mewujudkan impiannya untuk menjadi syahidah?" Pertanyaan lain terus bermunculan di benaknya. "Bagaimana dengan impiannya yang lain? Soal pinangan, rencana pernikahan, dan pakaian pengantin yang sudah dijahitnya sendiri? Bukankah dia juga bercita-cita untuk melahirkan anak-anak, kemudian membina mereka menjadi mujahid-mujahid tangguh?"


Sementara pikiran liarnya bertanya-tanya, kalbunya mendapat isyarat bahwa calon mempelai itu telah gugur dalam aksi bom syahid. Dan, begitu laporan resmi mengidentifikasi jenazah Ayat, Ny Al-Akhras hanya berkata, "Inna lillaahi wainna ilaihi raji'un. Semoga Allah mencatatnya sebagai shahidah. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pengantin Palestina yang bisa melahirkan kehormatan dan kemerdekaan bagi umat dan bangsanya."
Jumat siang itu Ayat Al-Akhras pergi mengikuti jejak Issa Farah dan Saa'id, dua kerabatnya, yang gugur diterjang helikopter Israel.


Lahir 20 February 1985 di kamp Dheishes, Ayat adalah anak keempat dari 11 bersaudara. Dia punya tiga saudara laki-laki dan tujuh saudara perempuan. Di akhir hayatnya, dia tercatat sebagai siswa kelas tiga sekolah menengah atas.


Ayat, menurut ABC News, termasuk anak cerdas dan rajin belajar. Sampai saat-saat menjelang syahidnya, dia masih rajin menasihati teman-teman untuk terus belajar dan belajar. "Penguasan ilmu dan teknologi amat penting dan diperlukan untuk mendukung perjuangan kita, apa pun bentuknya."


Hayfaa, teman baiknya, berujar, "Dia selalu menasihati kami bahwa belajar harus tetap berjalan, meski rintangan dan bahaya mengancam di sekeliling kita."


Tentang jihad, Ayat selalu berkata, "Jihad itu kewajiban setiap Muslim. Termasuk wanita. Mengapa kita harus membiarkan nyawa kita terenggut sia-sia oleh kebiadaban zionis Israel." Kematian seorang mujahid, kata dia, akan membangkitkan keberanian mujahid-mujahid lain, bukan sebaliknya.
Hayfaa tak menyangka Ayat syahid secepat itu. Dalam hari-hari terakhirnya, dia rajin mengumpulkan foto-foto mujahid Palestina. Di meja belajarnya berjejer slogan-slogan jihad dan kepahlawanan. "Dia pergi untuk bergabung dengan barisan syuhada lainnya."


Ayat, menurut catatan Islamic Movement Crescent, kini tercatat sebagai syahidah kedua di Palestina atau yang keenam dalam barisan pelaku aksi bom syahid sepanjang tahun 2002. Syahidah pertama adalah Wafa Idris (27), janda kembang yang berporfesi sebagai paramedis di Ramallah. Dia gugur dalam aksi menjelang akhir Januari 2002 yang menimbulkan seorang Israel tewas dan melukai 100 orang lainnya.


Di Palestina, aksi bom syahid sendiri telah berlangsung setidaknya dalam 21 bulan terakhir dan melibatkan sedikitnya 250 mujahid, umumnya berusia di bawah 30 tahun.


Meski tahu bahwa syahidah adalah cita-cita tertinggi anaknya, Ny Al-Akhras tetap saja merasa kehilangan. Dengan mata berlinang, dia mengulang kata-kata sang anak ketika berdiskusi soal kewajiban jihad bagi setiap warga Muslim Palestina. "Apa nikmatnya hidup di dunia ketika kematian selalu mengintai kita. Mana yang lebih indah, mati dalam ketidakberdayaan dan kehinaan atau gugur di medan jihad."


Samaah, adik sekaligus teman terdekat Ayat, merasakan hal yang sama. Sambil menangis, dia berkisah tentang saat-saat akhir bersua dengan kakaknya. "Saya lihat cahaya di mukanya dan sebuah rona kebahagiaan tak pernah dilihat sebelumnya." Sambil memberi sepotong coklat manis, lanjutnya, Ayat berkata lirih, "Shalat dan doakan agar kakak sukses melaksanakan tugas suci ini."


"Tugas apa?" Samaah bertanya. "Hari ini kamu akan mendengar satu berita baik. Mungkin inilah hari terbaik dalam hidup saya. Inilah hari yang lama saya nantikan. Tolong sampaikan salam hormat saya kepada Akh Shaadi," tutur Ayat sambil memberikan secarik kertas.


Shaadi Abu Laan (20), calon suami Ayat, termangu beberapa saat ketika kabar itu sampai padanya. Dia nyaris tak percaya Ayat pergi begitu cepat mendahuluinya. Padahal Juli ini, jelas Shaadi, "Kami sudah berencana untuk resmi berumah tangga. Begitu Ayat lulus ujian, kami akan menempati rumah sederhana yang belum didekor." Mereka, tulis Azaalcity, sudah satu setengah tahun ber-khitbah (saling meminang). Keduanya bahkan telah menyiapkan nama 'Adiyy untuk bayi pertamanya.


Mereka bertekad mendidik si kecil sebaik-baiknya dengan harapan kelak menjadi seorang mujahid yang akan membebaskan Al-Aqsa dan Palestina dari pendudukan Israel.


"Allah ternyata punya rencana lain," ucap Shaadi kepada Islamicline. "Semoga kami bisa bertemu di syurga kelak, seperti harapan Ayat dalam surat terakhirnya. Saya tahu dia gadis berkepribadian kuat, tegar, dan cerdas. Dia mencintai negara dan agamanya lebih dari apa pun."


Setiap saat, lanjut Shaadi, Ayat memang selalu memimpikan operasi syahid. "Kami pun pernah bercita-cita untuk syahid bersama-sama. Ternyata Allah telah memilih dia duluan. Kalau ada kesempatan, saya akan menyusulnya segera. Semoga Allah mengabulkannya," ucap pemuda Palestina yang baru saja meraih gelar sarjana muda hukum ini.

SYAHIDNYA CALON MEMPELAI** Rating: 4.5 Diposkan Oleh: r007-

0 komentar:

Posting Komentar